Sikap masa bodoh dapat memberikan konsekuensi negatif yang nyata di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sikap masa bodoh pada hakikatnya adalah musuh bersama yang harus dibuang jauh-jauh dari dalam diri kita.
Dalam bukunya Strange to Love (1963), Martin Luther King, pejuang hak-hak sipil di Amerika Serikat, pernah menyatakan, “Di dunia ini, tidak ada yang lebih berbahaya dibandingkan ketidakpedulian yang dilakukan secara sungguh-sungguh.” Hal yang serupa juga pernah dikatakan oleh William Shakespeare. Menurut Shakespeare, “Tidak ada kegelapan, yang ada adalah ketidakpedulian.”
Istilah ketidakpedulian, yang sinonim dengan istilah masa bodoh, telah menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk para aktivis, komunitas, individu dan pemerintahan di berbagai negara. Anak-anak remaja menggunakan istilah ini dengan berbagai varian -yang memiliki makna lebih ringan, seperti serahlah, sebodo amat, emang gue pikirin, dan lain-lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masa bodoh adalah (1) Kata afektif untuk menyatakan tidak senang hati; terserahlah; sesukamulah, (2) Tidak peduli apa-apa; tidak memperhatikan sama sekali; acuh tak acuh. Jika disimpulkan, sikap masa bodoh adalah sikap tidak peduli yang diimplementasikan seseorang, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, bahkan terhadap bangsa dan negara.
Sinonim dari kata masa bodoh adalah tidak peduli, terserah, apatis. Secara psikologis, sebagaimana didefinisikan oleh Areefa Cassoobhoy (2020), sikap masa bodoh/apatis/tidak peduli sering diterjemahkan sebagai sikap kehilangan motivasi untuk melakukan sesuatu dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar.
Sikap masa bodoh biasanya dapat dilihat dari ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, partisipasi politik, penegakan hukum, kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan atau keadilan. Faktor ketidakpedulian tersebut dapat memberikan konsekuensi dalam kehidupan nyata.
Misalnya, ketidakpedulian pada lingkungan dapat memberi konsekuensi pada rusaknya lingkungan, terjadinya perubahan iklim, menurunnya tingkat kesehatan, terjadinya banjir, dan lain-lain. Konsekuensinya nyata dan akan dihadapi oleh masyarakat itu sendiri.
Contoh lain, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mengenai Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup, ditemukan fakta kurang menyenangkan. Dalam laporan itu BPS menyatakan bahwa sekitar 72 persen masyarakat Indonesia masih tidak peduli dengan pengelolaan sampah, 71 persen masih tidak peduli dengan penggunaan transportasi pribadi, 44 persen masih tidak peduli dengan penghematan air dan 16 persen masih tidak peduli dengan pengelolaan energi. Dampaknya apa? Polusi udara, banjir, tingkat kesehatan dan sulitnya air bersih.
Contoh kedua, bisa kita lihat mengenai ketidakpedulian masyarakat pada faktor kesehatan saat pandemi Covid-19. Pada akhir tahun 2020 Tim Satgas Penanganan Covid-19, sebagaimana dilaporkan Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) pada bulan Oktober 2020, menyatakan bahwa tingkat ketidakpedulian masyarakat untuk menjaga protokol kesehatan relatif rendah.
Misalnya pada kepatuhan menggunakan masker masih di bawah 50 persen, meskipun 90 persen masyarakat sudah mengetahui pentingnya menggunakan masker.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan ketidakpedulian muncul? Ketidakpedulian masyarakat merupakan sebuah masalah sosial. Menurut John J. Macionis, ada 3 faktor yang menyebabkan masalah sosial muncul.
Pertama, aspek struktural-fungsional, di mana masalah sosial muncul disebabkan karena aturan atau kebijakan dari pemerintah yang dianggap plin-plan, tidak kompeten, sulit dipercaya atau tebang pilih, sehingga masyarakat menjadi tidak peduli.
Kedua, aspek konflik, di mana ketimpangan di tengah masyarakat menyebabkan terjadinya pertentangan-pertentangan. Kubu yang mengambil sikap “antagonistik” akan menunjukannya dengan perilaku tidak peduli terhadap sekitar.
Ketiga, aspek interaksionisme-simbolik, di mana masyarakat dibentuk melalui interaksi, termasuk apakah mereka peduli atau tidak terhadap berbagai masalah yang ada.
Sikap masa bodoh dapat memberikan konsekuensi negatif. Maka, mari kita pupuk sikap peduli terhadap sesama, terhadap lingkungan dan terhadap alam sebagai bentuk budaya gotong royong yaang positif.