Azas Pemberdayaan Dalam Pengaturan Desa Mengenai Asas pengaturan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, diatur dalam pasal 3, di mana angka 12 diuraikan tentang asas Pemberdayaan yang diuraikan sebagai berikut:
Pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa; dan
Pemberdayaan memang sebuah proses. Akan tetapi dari proses tersebut dapat dilihat dengan indikator-indikator yang menyertai proses pemberdayaan menuju sebuah keberhasilan. Untuk mengetahui pencapaian tujuan pemberdayaan secara operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak.
Dengan cara ini kita dapat melihat ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan.
Keberhasilan pemberdayan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan meraka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan akses kesejahteraan, dan kemampuan kultur serta politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan (power with). Dari beberapa dasar tersebut, berikut ini sejumlah indikator yang dapat dikaitkan dengan keberhasilan dari pemberdayaan:
- Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
- Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, shampo, rokok, bedak). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin orang lain termasuk pasangannya, terlebih jika ia dapat membeli barang-barang dengan menggunakan uangnya sendiri.
- Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas, point tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin dari orang lain, terlebih jika ia dapat membeli dengan uangnya sendiri. Profil Palira >> PALIRA (pusbimtekpalira.com).
- Terlibat dalam membuat keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama (suami/istri) mengenai keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk ternak, memperoleh kredit usaha.
- Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya, yang melarang mempunyai anak, atau melarang bekerja di luar rumah.
- Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan, seorang anggota DPRD setempat, nama presiden, mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
- Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya terhadap suami yang memukul isteri; isteri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
- Jaminan ekonomi dan kotribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, aset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya. Terima kasih. Semoga barokah.
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN